Dalam
aturan itu disebut sunat hanya boleh dilakukan oleh petugas medis,
yakni dokter, perawat, dan bidan. Agar tak menimbulkan dampak buruk,
kata dia, para petugas medis harus mengikuti prosedur tindakan antara
lain mencuci tangan pakai sabun, menggunakan sarung tangan.
Selanjutnya,
penyunatan hanya cukup dilakukan dengan menggores kulit yang menutupi
bagian depan klitoris (frenulum klitoris) dengan menggunakan ujung jarum
steril sekali pakai dari sisi mukosa ke arah kulit, tanpa melukai
klitoris. “Tidak memotong, dan tidak boleh menimbulkan pendarahan,” kata
Murti Utami, Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Kesehatan, saat
dihubungi pada Jumat, 1 Juli 2011.
Sunat tidak boleh dilakukan
pada perempuan yang sedang menderita infeksi genitalia eskterna atau
infeksi umum. Selain tak boleh memotong klitoris, sunat juga tidak
merusak labia minora, labia majora, hymen atau selaput dara, dan vagina,
baik sebagian maupun seluruhnya.
Selain itu, sunat itu juga harus
atas permintaan orang tua atau wali anak. Jika sunat perempuan
dilakukan sesuai dengan yang diatur di Permenkes, kata Murti, sunat itu
tidak akan menimbulkan dampak negatif. “Tidak ada dampaknya, justru
aman,” katanya.
Meski ada aturan ini, kata Murti, pemerintah tidak
mewajibkan perempuan disunat. Tapi, apabila ada perempuan yang ingin
disunat, Permenkes itu digunakan sebagai acuan oleh tenaga kesehatan
tertentu.
Source: TEMPOInteraktif.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar