VeHealth - Kasus keracunan makanan masih sering dijumpai di
masyarakat. Kejadian ini hendaknya jangan dianggap enteng karena bisa
berakibat fatal. Bahkan, sering berujung pada kematian.
Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat ( Centers for Disease Control and Prevention/CDC)
memperkirakan, 76 juta orang setiap tahun mengalami keracunan makanan.
Dari jumlah itu, 325.000 di antaranya dirawat di rumah sakit karena
tercemar bakteri atau parasit, dan mengakibatkan 5.000 kematian setiap
tahun.
Sementara itu, diare akibat keracunan makanan membunuh
jutaan orang di seluruh dunia, terutama di negara-negara berkembang dan
miskin. Wisatawan yang berpergian ke negara-negara berkembang, biasanya
sering mengalami keracunan makanan dalam bentuk traveler’s diarrhea.
Keracunan makanan bisa terjadi kepada siapa saja, baik anak-anak maupun
orang dewasa. Penyebabnya bisa bermacam-macam. Bisa karena sifat bahan
makanannya yang memang berbahaya, cara pengolahan atau penyimpanannya,
dan dapat pula karena pengaruh dari luar—hidangan yang kita santap
terkontaminasi bakteri atau zat berbahaya.
Adapun mengobati
keracunan makanan tidak mudah dan butuh tindakan yang tepat. Itu karena
kita berhadapan dengan racun yang sudah masuk ke dalam tubuh. Jika tidak
cepat penanganannya, maka bisa berakibat pada kegawatdaruratan. Namun,
bisa jadi mudah jika Anda menanganinya dengan segera.
“Yang
penting, pandai dan cerdas memilih makanan yang akan kita konsumsi.
Karena apa yang kita makan, akan memengaruhi keadaan tubuh kita,” kata
Dr dr Ari Fahrial Syam SpPD-KGEH MMB dari Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM dalam acara seminar dan
workshop “Emergency Fair and Festival (E-FAST)” di Aula FKUI, Jakarta.
Keracunan makanan, Ari menyebutkan, dapat menyebabkan dispepsiaatau yang
biasa dikenal dengan sakit maag dan diare akut. Dispepsia adalah suatu
kumpulan gejala rasa nyeri atau tidak nyaman di daerah ulu hati. Gejala
sakit maag, di antaranya cepat kenyang, kembung, berasa penuh, mual,
atau enek dan muntah.
”Kalau Anda terserang gejala tersebut,tetapi sebelumnya tidak menderita maag, bisa jadi Anda keracunan,” tuturnya.
Sementara, diare akut diartikan ketika peningkatan pengeluaran feses
mencapai 200 gram per hari. Saat diare, buang air besar berubah menjadi
cair dan frekuensinya umumnya meningkat lebih dari tiga kali dalam
sehari selama kurang dari dua minggu.
Dia mengemukakan, data
pada 2009 menyebutkan, Indonesia masih menjadi 10 negara tertinggi
pasien diare yang akhirnya meninggal. Adapun laporan Dinas Kesehatan
(Dinkes) di Kota Depok pada 2010 juga menunjukkan diare sebagai penyakit
terbanyak yang menyerang masyarakat, selain demam berdarah, inspeksi
saluran pernapasan atas (ISPA), dan TBC paru.
Penderita diare karena keracunan makanan ini dominan mengalami mual dan
muntah. Hal itu dapat juga disertai dengan demam dan keluarnya darah,
lendir atau cairan, bergantung pada kuman penyebab.
”Perhatikan juga tanda-tanda dehidrasi serius seperti lidah kering,
haus, sesak napas, lemas, sakit kepala, hingga pingsan,” sebut Ari.
Jika didapat gejala tersebut, menurut Ari, banyak orang yang langsung
minum obat antidiare dan sejenisnya. Sebaiknya, langkah pertama untuk
menangani diare adalah dengan mengonsumsi oralit atau larutan campuran
gula dan garam.
”Oralit memang tidak menghentikan diare, tetapi cukup untuk menggantikan
cairan yang hilang akibat buang air besar yang berlebihan,” tuturnya.
Ari mengemukakan, untuk mencegah keracunan makanan, kita harus
pandai-pandai memilih makanan dan minuman yang kita konsumsi. Apalagi
jika membeli makanan di pedagang kaki lima yang terletak di pinggir
jalan. Cari tempat makan yang terlihat bersih lokasinya, terutama dapur
dan kamar mandinya, serta higienis dalam hal penyajiannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar